Oleh : Athiful Khoiri
Dede, nama sapaan pemuda itu. Dedare Ingesgati, demikianlah orang tuanya menyematkan nama pada orok yang nongol ke dunia beberapa tahun silam. Rumahnya sebelah utara Masjid desa. Hampir setiap hari ia selalu kita temui di selasar Masjid tersebut. Bawahanya kalem. Pakaian yang dikenakan pun apa adanya. Sebenarnya umur Dede sedikit lebih dewasa dariku, mungkin sekarang menginjak 26 tahun. Namun na’as, jiwanya agak kurang normal. Ia menderita retardasi mental sejak balita. Authis, orang-orang menyebutnya demikian.
Lebih malang lagi, nama Dede sering dipakai ibu-ibu untuk menakut-nakuti anaknya yang bandel. Meskipun hingga saat ini belum ada korban yang jatuh akibat ulahnya. Hampir setiap pagi, Dede sering membatu Arjo, marbot Masjid setempat, memunguti dedaunan yang gugur dihalaman, bahkan tak jarang ia pun rela ikut membersikan dan membuang sampah yang ada di pekarangan Masjid, dengan senang hati. Arjo dan Dede nampak begitu akrab.
Setelah usai ‘ritual’ bersih-bersih Masjid, keduanya pun sering ngobrol bareng di bilik kanan serambi Masjid. Biasanya Arjo sering dapat rejeki dari ibu-ibu yang pagi itu pulang berbelanja dari pasar desa. Ya, sekedar gorengan dan cemilan serta ditemani teh hangat sebagai pengganjal perut. Tak ada rasa malu, jijik, atau apalah dalam benak Arjo ketika makan bersama Dede. Selama ini Arjo tak pernah memandang Dede sebelah mata dikarenakan keadaan fisiknya.
“Dede juga manusia Is, makhluk ciptaan Allah seperti kita. Dan juga bukan keinginannya ataupun keluarganya ia berada dalam kondisi seperti itu.” Ungkap Arjo kepada Saya suatu pagi.
Matahari mulai memancarkan sinarnya dipagi hari. Kicauan burungpun turut bergembira menyambut datangnya sinar mentari. Orang-orang desa berduyun-duyun menghampiri sawah dan ladang tempat mereka bercocok tanam. Sementara mobil-mobil orang kantoran telah memadati jalan desa yang hanya beberapa centi saja lebarnya. Semua orang sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing, tak terkecuali Arjo. Pemuda Masjid itu rupanya masih berstatus mahasiswa di Sekolah Tinggi terdekat.
Pagi itu Arjo bersiap-siap untuk ngampus. Sementara Dede berjalan pulang dijemput Ibunya untuk mandi. Setelah mandi pagi selesai, biasanya Dede pun kembali mengunjungi Masjid tersebut, setelah mondar-mandir kesana kemari mencari Arjo tidak ada, raut mukanya kelihatan agak murung, pandangannya pasi, ia pun mulai bercengkrama dengan kesunyian diteras Masjid. Seorang diri.
Waktu Dhuha serentak bergulir. Para sesepuh desa biasanya punya agenda tersendiri. Ya, hanya sekelompok lansia saja, karena hampir tidak pernah didapati kaum muda ikut nimbrung dikala itu. Masjid menjadi ramai seketika oleh orang-orang yang menunaikan shalat diwaktu matahari mulai menyingsing. Adakalanya sebagian dari mereka yang tak menginginkan Masjid ini kotor biasanya mengusir Dede, karena selama ini Dede tak pernah mengenakan alas kaki. Jika melihat kejadian seperti itu, biasanya Arjo langsung memanggil Dede lewat pintu belakang.
“Aku heran melihat perlakuan para jama’ah terhadap Dede. Mengapa semua orang mengusirnya, toh dia hanya duduk bersimpuh disitu, kakinya tidak sampai menginjakkan marmer Masjid.” Celethuknya padaku suatu ketika.
“Arjo, para jama’ah takut Dede mengotori Masjid ini dengan langkah kakinya yang kotor.” Jawabku.
“Fais, ini rumah Allah, setiap manusia berhak untuk memasukinya tak terkecuali Dede. Masjid ini sedikitpun tak pernah kotor dihadapan Allah karena dimasuki oleh orang-orang yang berusaha membersikan diri kepada-Nya. Justru malah terkotori oleh sifat kita yang suka mencemo’oh sesama ciptaan Tuhan. Lha wong kita saja nggak pernah ngerti kok, derajat kita dibanding Dede di mata Tuhan.
Belum tentu toh kita yang paling mulia?” Tegas Arjo.
“Arrgghh.. kurasa apa yang dikatakan Arjo barusan benar. Aku yang sehat saja hanya beberapa kali ikut memunguti sampah-sampah yang ada di Masjid, itupun hanya ketika ada kerja bakti masal, tapi Dede... Ya Allah ma’afkan Aku. Ma’afkan Aku Dede.”
***
“Bu, Fais pergi dulu yaa!!”Ibuku yang sedang menyiapkan makan malam tiba-tiba terhenti mendengar suaraku berpamitan.
“Eee.. mau kemana kamu Fais? Nggak makan malam bareng keluarga dulu?”
“Ndak usah Bu. Fais tidak terlalu lapar malam ini. Fais mau ke Masjid, ada rapat redaksi majalah bulanan. Lagian nanti kalau pulang juga pasti dapat makanan kok. Hehe..”
“Ya sudah, hati-hati ya Sayang. Nanti jangan pulang terlalu malam ya.” Pesan Ibu.
“Ya Bu..” jawabku seraya mencium tangan Ibu. “Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumsalam...” jawab Ibu pelan.
***
“Malam teman-teman” Sapaku kepada teman-teman redaksi yang sedang berkumpul di kantor sekretariat.“Akhirnya makhluk yang kita tunggu-tunggu nonggol juga nih, tuh sajian utama dari majalah belum tuntas. Selamat mengerjakan yaaa.. hahaha..” timpal salah seorang kawanku sambil menyodorkan beberapa kertas hasil wawancara kepadaku. Tugas menjadi pimpinan redaksi mereka percayakan kepadaku selama ini. Tak pelak, Aku pun harus bekerja meliput berita lebih giat dibanding mereka. Namun semua itu kujalani dengan serius dan santai. Dan alhasil selama ini majalah bulanan Masjid tetap eksis tanpa terkendala suatu apa. Alhamdulillah.
Sidangpun berlalu dengan tertib dan tenang. Setelah semua bahan terkumpul acarapun mulai disibukkan dengan pengetikan. Oh, kini saatnya jemari tangan kita versuskan dengan tombol-tombol komputer. Teman-temanku sangat rajin. Semua tugas dikerjakan dengan tepat dan teliti. Tugasku sebagai pimpinan redaksi kini hanya mengechek ketikan-ketikan yang mungkin kurang benar dan tidak sesuai dengan kaidah penulisan berita saja.
“Huh, rubrik dinamika masyarakat ada yang kurang akurat nih!” kataku seraya menujukkan jari pada layar komputer.
“Yang mana lagi, Is?” sahut Dinda menimpali pernyataanku.
“Iya dong, masa judulnya Masjid Al-Ihsan meraih predikat Masjid terbersih tingat Kabupaten isinya tentang sejarah pendirian Masjid. kan tidak nyambung!” inotasi suaraku sedikit meninggi.
“Halah, biarlah yang penting penuh rubrik majalahnya, tidak akan ada yang protes. Deadline sudah didepan mata nih.” sahut Zaki sambil menyeruput teh hangat yang ada di hadapannya.
“Lho, tidak bisa begitu dong. Harus diperbaiki menyesuaikan dengan peristiwa yang terjadi. Siapa yang bertanggung jawab meliput berita ini kemarin?” sergahku.
“Iya Is, biar Aku perbaiki lagi deh. Kemarin Aku yang kebagian berita tersebut.” Kata Dinda, seraya memadamkan marah diwajahku.
“Nah, gitu dong.”
Dinda pun mulai memencet-mencet tuts keyboard komputer untuk mengedit isi rubrik tersebut. Suasana menjadi hening. Hatiku pun mulai gembira. Akhirnya bulan ini majalah selesai tepat waktu. Itu semua hasilku dan juga jerih payah teman-teman seperjuangannku. Tak berselang begitu lama, dan akhirnya..
“Yups, akhirnya beres juga. Tinggal masuk ke percetakan nih.” Ujarku.
“Alhamdulillah..” Sahut Dinda, Zaki, serta teman-teman yang lain.
“Dasar!! Paling cepet marahnya, eh paling cepet juga senengnya, Huh.” Arjo yang sedari tadi membisu kini mulai bersuara dan sebel padaku, seraya menjewer telingaku.
“Biarin. Wekk!!” ejekku menjawabnya.
“Pulang yuk, dah malam nih.” Ajak Dinda.
“Oke. Besok saya masih ada ulangan, coba” jawabku sambil bersiap-siap pulang untuk beristirahat.
Arjo pun mengantarkan kami hingga ke depan pintu gerbang Masjid. lampu-lampu neon disekitar Masjid mulai dimatikan Arjo.
“Hey, tumben jam segini masih ada yang shalat.” Ujar Dinda sambil menunjuk ke dalam Masjid.
“Mana Din?” Ucapku.
“Orang kebetulan lewat desa ini mungkin.” Sahut Zaki.
“Eh, iya ya..” Sambungku penasaran.
Kucoba mengenali siapakah gerangan nun jauh disana. Sesosok manusia yang berdiri tegak sambil melipat tangan didadanya. “Kayaknya Aku kenal!” Celotehku.
Kulirik jam tangan kesanyanganku. Pukul 23.00 WIB. Rasa penasaran seketika itu menghantui relung-relung jiwa kami. Apalagi gerakan shalatnya terlihat aneh dalam pandanganku, dan.....
Oh... semua terperangah, membisu seketika. Hanya Arjo yang tersungging senyum di bibir tipisnya.
Subhanallah.... Pemuda itu adalah Dede. Semua mata terpesona dibuatnya. Ada getaran hebat yang menyerbu hati kami seketika. Keringat dinginpun tak sengaja meleleh membasahi sekujur tubuh yang pongah ini, namun bukan karena bertemu hantu atau dirazia polisi. Terlintas betapa egoisnya kami selama ini yang beranggapan bahwa islam hanya milik orang yang sehat jasmani dan rohani saja. Malam ini telah Allah tunjukkan, bahwa Dede juga salah seorang pemegang panji perjuangan islam, paling tidak dia salah seorang yang telah berusaha menegakkan tiang agama.
Dede yang selasai menunaikan shalat pun kaget melihat perlakuan kami kepadanya. Dia tersenyum. Mulai menggerakkan bibir dan tangannya, menunjuk ke arah tempat wudhu. Entah kami saling menggeleng tak tahu maksudnya.
“Ucapnya, kakiku tidak kotor, Aku sudah membasuhnya dan berwudhu, Aku hanya ingin shalat. Izinkan Aku shalat!” Ujar Arjo menafsirkan. Dia mengangguk dan tersenyum tipis dibibirnya.
“Iya, kamu boleh shalat kok, kapan saja semaumu.” Tatap Dinda menahan haru.
Subhanallah... sekali lagi kuucapkan. Maha suci engkau ya Tuhan. Kami meneteskan airmata penyesalan. Bukankah Dia hanya ingin shalat? Mengapa kita tidak mengizinkan? Bukankah Dia juga makhluk ciptaan Allah sama halnya kita?
Oh, Dede, teruslah shalat, dan teruslah tegakkan tiang agama ini, karena orang normal pun belum tentu dan enggan melaksanakannya. Teringat ucapan Arjo dulu, bahwasanya kita belum tentu lebih baik darinya.
Mulai terasa bahwa malam itu adalah malam istimewa bagiku. Kami semua pulang dengan berjuta perasaan: ada haru, malu, dan juga syukur, karena Allah telah menciptakan Dede yang senantiasa menjadi motivator kami untuk menjadi yang terbaik.
Lamongan, 18 Juli 2012 pukul 01.14
Athiful Khoiri
Athiful Khoiri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar